Rabu, 11 Januari 2012

DPRD KOTA SAMARINDA NEKAT SEBUT MAMPU BAHAS PERDA TANPA AKADEMISI




SIDAK POST KALTIM__DPRD kota Samarinda enggan untuk melibatkan berbagai pihak seperti akademisi dalam pembahasan peraturan Daerah (Perda). Sebut saja, Perda Walet yang telah disahkan beberapa saat yang lalu menuai penolakan dari masyarakat karena Perda tersebut tidak dilengkapi dengan kajian akademis.
Padahal saat ini, Samarinda sedang dilanda musibah karena beberapa warga tewas di lubang tambang. Tentunya ada kesalahan dan ada aturan yang harus dibenahi. DPRD Samarinda sendiri sedang menggodok Perda Tambang, tentunya pendapat ahli lingkungan sangat dibutuhkan sebagai kajian akademis. Padahal, semakin banyak pendapat yang masuk, semakin banyak kita berdiskusi kan pasti lebih baik hasilnya. Memang itu domain mereka, tapi kalau DPRD serius untuk menyelesaikan persolan, harus mengundang berbagai pihak. Mengundang stake holder, akademisi dan lain-lain, tidak hanya dari DPRD," kata  Ir Bernaulus Saragih MSc PhD, Kepala Pusat Penelitian (Puslit) Sumber Daya Alam (SDA) Universitas Mulawarman.
Banyak pertanyaan yang menurut Bernaulus harus diajukan agar nantinya produk Perda yang dihasilkan dapat mengakomodir semua permasalah tambang yang ada di Samarinda. Pertama, kenapa tambang harus dilanjutkan di Samarinda. Kedua, jika memang harus diteruskan harus jelas atas dasar apa kegiatan itu dipertahankan dan harus ada evaluasi menyeluruh tentang kontribusinya, dampak lingkungan, dampak sosial ekonomi. Terutama, dampak untuk masyarakat Samarinda untuk jangka panjang. Coba kita lihat, semakin hari semakin sering banjir. Hujan sedikit saja sudah ada lumpur. Samarinda sudah jadi kota lumpur. Mana ada jalan di Samarinda yang benar-benar bersih. Ini yang tidak dilihat oleh pejabat dan pemilik tambang, tidak punya sense of crisis. Ini sudah krisis. Kenapa, bagaimana ibukota Provinsi sedemikian kotor, berlumpur, banjir. Di Eropa ini disebut orang-orang gila yang hidup dalam situasi yang sangat carut marut. Ya, tapi karena kita bisa hidup dalam situasi yang carut marut, kita menjadi kebal dan kehilangan sense of crisis. Kehilangan daya sensitifitas, ini berbahaya bagi bangsa negara dan generasi muda," kata Bernaulus. Seperti halnya pembahasan jarak aman tambang dengan permukiman warga bukanlah sekedar berapa jauh tetapi harus dikaji dalam berdasarkan apa jarak itu ditentukan. Lubang tambang yang telah diambil batu baranya, berapapun jaraknya dari permukiman warga tetap akan berbahaya, karena memperjauh pengawasan orang tua. Dimana solusinya bukan jarak tetapi lubang itu harus direklamasi. Kalau soal jarak itu relatif, sekarang kita lihat dulu  faktor dari jarak itu apa. Pertama, kebisingan, bahwa tractor tidak akan menimbulkan kebisingan di rumah pada jarak itu. Tetapi, persoalannya, namanya dampak, dampak itu tidak cukup 500 meter, 1kilometer dan 10 kilometer. Tergantung bagaimana mengelola kan sebenarnya, begitu katanya.(sp_134)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar